Membawa oleh-oleh bagi sebagian besar orang Indonesia seperti menjadi kewajiban saat baru pulang bepergian dari luar kota maupun luar negeri. Setiap wilayah, konsep oleh-oleh berbeda-beda dengan karakteristik yang khas, misalnya berupa makanan maupun minuman.
Menurut Syamsul Huda, pengusaha oleh-oleh makanan olahan apel asal Malang, berbisnis oleh-oleh sangat menjanjikan asalkan mengerti strateginya. Syamsul mengganggap, segmen pasar oleh-oleh harus dibedakan dengan segmen produk secara umum.
"Kalau produk oleh-oleh kualitasnya harus tinggi, maka harga jualnya juga tinggi, desain harus menarik. Tapi kalau produk lain harganya murah dengan kualitas di bawah (standar)," kata Syamsul kepada detikFinance beberapa hari lalu di Malang.
Menurutnya, kelebihan dari bisnis oleh-oleh, produknya pasti dicari banyak orang sehingga pemasarannya relatif mudah. Meskipun biasanya segmen pasar ini hanya terbatas pada wilayah tertentu saja.
"Kami mengincar pasar oleh-oleh, pasar oleh-oleh bagaimana mengangkat Kota Batu Malang sebagai kota wisata," katanya.
Dari sisi variasi produk, segmen pasar oleh-oleh memang mau tidak mau harus memiliki keterbatasan jenis. Produk yang dijual haruslah khas wilayah setempat, karena jika tidak, konsumen akan bingung menentukan produk apa yang pas untuk oleh-oleh.
Namun kondisi semacam seperti ini bukan berarti harus membatasi kreasi seorang pebisnis. Berdasarkan pengalaman Syamsul, untuk mengembangkan usaha, seorang pengusaha produk oleh-oleh harus juga memiliki produk non oleh-oleh untuk segmen pasar umum, dengan konsekuensinya harus bermain di harga yang lebih miring.
"Di samping ada kripik apel, kita juga ada pia apel khusus untuk semua segmen pasar. Ke depannya selain pia, kita juga mau mengembangkan biskuit apel, permen apel dan lain-lain," katanya.
Menurutnya saat ini oleh-oleh khas Batu Malang masih berkutat pada produk makanan olahan seperti kripik apel dan sari buah apel. Dengan masuk segmen produk di luar oleh-oleh, Syamsul mengaku harus menyiapkan perangkat modal yang lebih besar dan perizinan yang lebih kompleks.
"Sementara ini produk-produk saya masih di Jawa Timur, belum berani ke luar karena belum ada modal," katanya.
Keberhasilan Syamsul menggeluti produk makanan olahan apel bukan lah isapan jempol belaka. Bisnis produk olahannya terus berkembang, selain kripik apel, sari apel, jenang (dodol) apel, ia juga membuat kripik nangka, kripik nanas, kripik salak, kripik mangga, kripik rambutan, dodol nanas, dodol sirsak, dodol nangka, dodol strawberry dan lain-lain.
"Kebetulan setiap tahun naik, 5% sampai 15%. Dengan omset per bulan Rp 110 juta," katanya.
Syamsul yang memulai bisnis makanan olahan apel sejak 2001 ini, tertarik dengan bisnis oleh-oleh karena dihadapkan oleh kondisi suramnya sektor pertanian apel Batu Malang sepuluh tahun lalu.
"Yang menjadi latar belakang kondisi budidaya apel tahun 2001, terjadi penurunan, sudah jenuh tanah. Produktivitas turun dan kualitas juga. Ini merugikan petani. Perlu ada sentuhan teknologi pengolahan pangan," ucap pria lulusan Unisma Fakultas Pertanian ini.
Ia mengaku, produk olahan apel pertamanya adalah jenang atau dodol apel, pada waktu itu ia hanya bermodal Rp 4 juta. Selama dua tahun pertama bisnis jenang apelnya masih kembang kempis alias baru sampai tahap balik modal.
"Tahun berikutnya saya buat ekspansi pasar dan modal dengan minjam uang dari bank. Saya memulai beranikan diri pinjam dana Bank Mandiri dan Bank Jatim. Ternyata sebuah keberhasilan harus berani dulu dan mengambil risiko," kenang Syamsul.
Setelah dapat suntikan dana segar dari bank, bisnis Syamsul kian melaju pesat sejalan berkembangnya aneka produk yang ia buat. Mulai dari situ ia banyak mengembangkan berbagai aneka produk kripik termasuk kripik dan jus apel.
"Sekarang total variasi produk sudah ada 15 macam. Cara menembus pasar, saya melakukan kegiatan promosi di daerah Malang Raya. Saya ikut promosi kegiatan pameran di dinas," katanya.
Syamsul kini sudah memiliki 72 karyawan padahal awalnya hanya 2 orang karyawan. Produk-produk yang ia jual relatif terjangkau untuk segmen oleh-oleh yaitu dimulai dari Rp 2.000 sampai Rp 22.000 per bungkus.
Keberhasilan Syamsul bukan hanya dinikmati oleh dirinya dan karyawannya, namun para petani yang menyuplai bahan baku apel pun ikut kecipratan moncernya bisnis olahan apelnya. Misalnya dalam hal harga jual apel, Syamsul memberikan harga relatif lebih bagus dari pada harga pembelian dari tengkulak yaitu berkisar Rp 5000-7000 per Kg.
"Kita ada mitra kerja binaan kelompok tani apel yang menjadi mita kerja. Kalau dibeli tengkulak harganya murah. Ada tergabung 41 petani, kita juga ada paket wisata selain melihat produksi olahan apel, pengunjung juga bisa melihat perkebunan apel," jelasnya.
Selama ini Syamsul mampu menghabiskan 500 kg apel untuk dijadikan kripik dan sari buah. Menurutnya suplai apel tak menjadi masalah meski produksi turun hingga 25%.
"Justru yang jadi masalah adalah suplai nangka, salak, rambutan karena bukan musim, padahal permintaaan banyak," kata pria yang mengaku mengolah apel secara otodidak ini.
Menurutnya permintaan produk olahan apel dan buah lainnya terus naik, bahkan pada musim liburan bisa naik hingga 30%. Dengan margin hingga sampai 20-30%, Syamsul mengaku begitu menikmati masa keemasan bisnisnya saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar